Properti digadang-gadang sebagai instrumen investasi yang kemungkinan ruginya hampir nol. Hal ini karena tren harga properti yang selalu naik setiap tahunnya jika tidak mengalami kondisi tertentu seperti bencana alam. Atas dasar ini, banyak orang memilih untuk mengalokasikan dananya untuk terjun ke investasi properti.
Sama halnya dengan instrumen investasi lainnya, investor properti pun terbagi ke dalam beberapa jenis. Lantas, apa saja jenis-jenis investor dalam bidang properti dan bagaimana perbedaannya?
Dalam bidang properti, investor tradisional merujuk kepada investor yang membeli properti untuk dijadikan aset yang menghasilkan pendapatan pasif (passive income). Dalam praktiknya, investor tradisional membeli properti untuk disewakan kepada penyewa untuk berbagai keperluan.
Contoh investor tradisional dalam bidang properti adalah pengusaha rumah kos. Menurut pakar properti Panangian Simanungkalit dalam sebuah unggahan pada kanal YouTube Panangian School of Property, investasi properti model tradisional seperti usaha rumah kos ini sudah cukup lama dikenal oleh masyarakat.
Para investor tradisional ini umumnya menurunkan kebiasaan dari investor tradisional lainnya. Sebagai contoh, seseorang yang hendak membeli properti untuk dijadikan rumah kos kemungkinan besar menurunkan kebiasaan dari orang tuanya yang sudah lebih dahulu berinvestasi sebagai pemilik rumah kos. Penurunan kebiasaan inilah yang kemudian disebut sebagai sebuah tradisi dalam berinvestasi.
Masih menurut Panangian, pemilik properti yang menyewakan asetnya dengan keuntungan senilai 1-2% saja sudah masuk ke dalam kategori investor tradisional Disisi lain, bila seorang investor tradisional mau mempelajari bagaimana menjadi seorang super investor, maka potensi keuntungan yang bisa diraih dari investasi properti, seharusnya bukan cuma 1-2/%, tetapi bisa menyentuh angka 6-7% untuk rumah kos dan 7-8-% untuk unit apartemen.
Investor properti yang membiarkan properti yang dibeli kosong tanpa dihuni maupun disewakan kepada pihak ketiga disebut sebagai collector atau kolektor properti. Jadi, ia membeli properti hanya karena faktor kesukaan dalam memiliki atau mengoleksi properti saja.
Dalam sebuah unggahan video di YouTube, Panangian menyebut salah satu faktor seseorang mengoleksi properti bisa saja sebagai aset yang bisa dicairkan ketika kolektor sedang membutuhkan uang. Namun, pada kenyataannya, kolektor properti tidak pernah menjual koleksinya bahkan sampai yang bersangkutan meninggal dunia.
Secara angka statistik, dari seluruh pemain di bidang investasi properti, sekitar 60% merupakan kolektor, sedangkan sekitar 39% adalah investor tradisional. Sedangkan sisanya 1% adalah super investor. Hal ini dipicu oleh pola pikir masyarakat yang melihat properti sebagai investasi terbaik dan paling aman di Indonesia sehingga banyak orang mengoleksi properti sebagai aset.
Sekilas model investasi semacam ini mungkin terlihat menguntungkan, apalagi ketika properti dijual setelah beberapa tahun ketika harganya sudah naik. Padahal, jika dibandingkan dengan jenis-jenis investor dalam bidang properti lainnya, kolektor memiliki potensi kerugian yang paling tinggi.
Kolektor kerap tidak memperhitungkan pajak dan biaya perawatan dan pemeliharaan properti. Tidak adanya sumber pendapatan yang bisa digunakan untuk menutup biaya yang harus dikeluarkan secara berkala membuat koleksi properti hanya menjadi beban (liability).
Jika kenaikan harga properti dalam jangka waktu tertentu tidak setinggi yang diharapkan, bukan tidak mungkin total biaya yang dikeluarkan lebih tinggi dari nilai jual properti. Dengan kata lain, kolektor properti adalah investor yang merugi dalam dunia properti jika dibandingkan dengan super investor atau bahkan investor tradisional sekalipun.
Jenis investor properti yang terakhir adalah super investor. Dalam bidang properti, istilah super investor merujuk kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan mengenai cara berinvestasi, target, dan kriteria tertentu sebelum memutuskan untuk membeli properti. Secara angka, jumlah investor jenis ini hanya 1% saja. jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan kolektor maupun investor tradisional.
Umumnya, seorang super investor mempelajari kegagalan dari kolektor properti atau investor tradisional dalam menjalankan strateginya. Ada setidaknya tiga hal yang membedakan super investor dengan investor lainnya, yaitu perbedaan filosofi, pola pikir, dan strategi investasi. Siapa pun bisa menjadi super investor selama memiliki tiga hal ini.
Umumnya, super investor melihat investasi properti sebagai aset yang bersifat low risk-high return. Artinya, sebuah investasi properti di lokasi sunrise, pasti memiliki resiko yang cukup kecil. Maka jika dipilih dengan baik dan dikelola dengan tepat, investasi properti tersebut dapat menghasilkan keuntungan yang berkali-kali lipat.
Dalam hal investasi properti, seorang super investor haruslah memiliki target pertumbuhan nilai modal investasi propertinya setiap tahun. Peningkatan ini biasanya diperhitungkan dalam jangka waktu 5 tahun. Sebagai contoh, jika seorang super investor membeli properti dengan modal Rp 100 juta, ia bisa menargetkan pertumbuhan nilai modalnya sebesar 20 -30 % per tahun.
Seorang Super investor kerap memiliki strategi yang khas, ditentukan oleh target pertumbuhan modal investasi yang dibuat. Misalkan untuk investasi jangka pendek (1-2thn), yang dikenal dengan strategi buy to sell. Target keuntungannya adalah 20% per tahun. Sedangkan untuk investasi jangka panjang (3-5thn), disebut sebagai strategi buy to hold. Target keuntungannya rata-rata adalah 100% per tahun. Pengelolaan investasi properti yang dibeli itu, harus bisa mengakomodasi target-target keuntungan yang sudah ditetapkan ini.
Baca juga: Biar Cepat Kaya! Ini 6 Cara Memasarkan Properti Agar Cepat Laku
Demikian penjelasan singkat mengenai jenis-jenis investor dalam bidang properti. Jenis investor yang manakah Anda?